sahabat

sahabat
cimo, bebex, lia, aidut

Sabtu, 23 Juli 2011

Aspek Medikolegal Autopsi Klinik

Aspek Medikolegal Autopsi Klinik
Cendy T.P , Fadhly A, Ima E, Yiti J, Sugeng P.W,*
Dr Bendrong Moediarso; Sp.F, S.H. **

Fakultas Kedokteran Universitas wijaya kusuma Surabaya *
Departement/instalasi ilmu kedokteran forensik dan medikolegal FK UNAIR/RSUD Dr.Soetomo Surabaya **

Abstract
Autopsi klinik adalah salah satu jenis autopsi yang diamanahkan oleh Undang-Undang No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan untuk mengetahui dan meningkatkan derajat/ mutu pelayanan kesehatan.  Regulasi autopsi klinik selama ini sangat terbatas oleh karena amanah Undang-Undang yang terbaru akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Autopsi klinis tersebut agar dapat berjalan dengan maksimal maka perlu dikaji azas manfaat dari berbagai pihak yang berkepentingan (stake holder) antara lain : pelanggan, pemberi pelayanan dan asuransi. Berdasarkan permasalahan tersebut kelompok kami menyusun referat Aspek Medikolegal Autopsi Klinik untuk memperoleh pemahaman yang terpadu secara legalitas.

Keyword : medicolegal aspects of clinical autopsy



I. PENDAHULUAN
           
Autopsi (bedah mayat) klinik merupakan pemeriksaan  yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan.
Autopsi ini tidak kurang pentingnya dan ini secara langsung bermanfaat kepada keluarga si mati dan masyarakat sekeliling. Yang penting dalam autopsi ini adalah mencari penyakit apa saja yang terdapat pada mayat itu dan apakah yang menyebabkan kematian. Dalam hal ini masyarakat menentang kerana autopsi ini dianggap sebagai bertujuan ilmiah atau penyelidikan semata-mata dan tidak ada manfaatnya kepada ahli waris.
Untuk melakukan autopsi klinik biasanya meminta izin  kepada ahli warisnya terlebih dahulu. Dalam autopsi tidak semua bagian dari dalam tubuh dikeluarkan tetapi hanya diambil sebagian kecil yang berupa irisan yang cukup untuk diperiksa di bawah mikroskop atau dengan alat-alat lain. Dan kalau pihak ahli waris tidak menyetujui autopsi, maka hanya partial autopsy (autopsi sebagian) saja dilakukan.
Dengan keterangan di atas jelaslah betapa pentingnya autopsy clinic tersebut. Dan di bidang kedokteran, autopsi berdiri sendiri dan ada hukum-hukum tersendiri pula. Jadi tidak perlu kita bimbang atas perkara ini karena orang-orang yang dapat melakukan autopsi adalah orang-orang yang dapat dipertanggungjawabkan.


II. PEMBAHASAN             

1. Manfaat Autopsi Klinik

Pelaksanaan autopsi klinis akan membawa manfaat bagi keluarga, institusi penyelenggara pelayanan kesehatan dan individu di dalamnya serta membawa manfaat bagi masyarakat luas.

i. Keluarga
Bagi keluarga manfaat yang diperoleh antara lain :
-          Diperolehnya informasi mengenai adanya kemungkinan kelainan genetik atau kelainan yang sifatnya diturunkan pada generasi berikutnya dalam garis keluarga.
-          Mengkonfirmasi penyebab kematian, dan memantau adanya kemungkinan kelalaian medik dalam pelayanan.
-          Berpartisipasi dalam pendidikan dan penelitian kedokteran.

ii. Institusi Pelayanan Kesehatan
 Bagi Institusi Penyelenggara pelayanan kesehatan manfaat yang diperoleh adalah :
-     Mengkonfirmasi diagnosis klinis yang dibuat selama pengobatan dan perawatan.
-     Mengetahui asal penyakit dan  perjalanan penyakit yang diderita pasien.
-     Mendidik dokter dan perawat hingga pada gilirannya meningkatkan kualitas pelayanan.
-     Merancang obat dan pengobatan yang efektif.
-     Mengidentifikasi sebagai akibat dari pengobatan.

iii. Masyarakat
Bagi masyarakat, manfaat yang diperoleh adalah :
-          Mengevaluasi teknologi pemeriksaan kedokteran yang baru.
-          Menilai efektifitas metode pengobatan yang diberikan pada pasien.
-          Menyelidiki adanya penyakit terkait kondisi lingkungan kerja atau lingkungan tinggal.


2. Pelaksanaan Autopsi Klinik

 Saat autopsi klinis dilaksanakan setelah adanya permintaan dan persetujuan tertulis dari pasien sendiri sebelum meninggal, atau dari keluarga terdekatnya, atau yang mewakilinya secara hukum. istri, suami, ibu, bapak atau saudara seibu-sebapak (sekandung) dari penderita dan saudara ibu, saudara bapak serta anak yang telah dewasa dari penderita dengan mempertimbangkan urutan kedekatannya menurut hukum.
Autopsi klinik dapat dilakukan tanpa persetujuan dari penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya
Permintaan autopsi klinis juga dapat diajukan oleh institusi penyelenggara pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah sakit, klinik, atau penyelenggara pelayanan kesehatan resmi yang lain), institusi pendidikan dan penelitian, atau dari otorita kesehatan RI (departemen kesehatan atau dinas kesehatan) dengan persetujuan dari pasien sendiri atau keluarga dekatnya atau yang mewakilinya secara hukum.
Autopsi klinik ini harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Pelaksanaan tindakan medis tersebut dilakukan dengan memerhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat yaitu norma hukum, norma agama, kesusilaan, dan norma kesopanan.
Autopsi klinis harus dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan autopsi (bedah mayat) dengan membuka rongga kepala, dada dan perut, serta melakukan pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menentukan sebab kematian.

3. Hasil laporan Autopsi Kinik

Hasil laporan autopsi klinik  dapat dimasukkan dalam rekam medis, dan dapat diketahui oleh keluarga dan pihak peminta autopsi klinis dengan mengingat batasan aturan mengenai rekam medis yang tercantum dalam permenkes 269/MENKES/PER/III/2008 tentang rekam medis.


III. REGULASI AUTOPSI KLINIK

Pelaksanaan autopsi klinis dalam praktek kedokteran, secara hukum berpijak pada landasan :
Undang-undang R.I nomor 36 Tahun 2009
Pasal 119
(1)   Untuk kepentingan penelitian dan pengembangan pelayanan kesehatan dapaat dilakukan bedah mayat klinis di rumah sakit.
(2)   Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menegakkan diagnosis dan/atau menyimpulkan penyebab kematian.
(3)   Bedah mayat klinis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas persetujuan tertulis keluarga terdekat terdekat pasien.
(4)   Dalam hal pasien diduga meninggal akibat penyakit yang membahayakan masyarakat dan bedah mayat klinis mutlak diperlukan untuk menegakkan diognosis dan/atau penyebab kematiannya, tidak diperlukan persetujuan.
Pasal 121
(1)   Bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis hanya dapat dilakukan oleh dokter sesuai dengan keahlian dan kewenangannya.
Pasal 124
(1)    Tindakan bedah mayat oleh tenaga kesehatan harus dilakukan sesuai dengan norma agama, norma kesusilaan, dan etika profesi.


IV. KESIMPULAN

Autopsi Klinik sangatlah penting untuk perkembangan ilmu kedokteran di Indonesia. Autopsi Klinik bisa berkembang berkat ketekunan kerja para ahlinya dan mendorong berkembangnya aturan hukum yang mengatur hak dan kewajiban keduanya saat berinteraksi. Autopsi klinik dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga akibat suatu penyakit dan dengan persetujuan tertulis ahli warisnya. Tidak lengkapnya pelaksanaan prosedur autopsi klinik akan berakibat tidak dapat ditentukannya sebab kematian. Di Indonesia Autopsi Klinik sangatlah rendah maka Rumah Sakit yang ada di Indonesia perlu di akuntabilitas.
Dengan pembahasan diatas jelas bahwa sangatlah penting Autopsi Klinik di Indonesia. Dan di bidang kedokteran, Autopsi Klinik berdiri sendiri dan ada hukum-hukum tersendiri pula. Jadi tidak pelu kita bimbang atas perkara ini yaitu Autopsi Klinik, karena orang-orang yang dapat melakukan Autopsi Klinik adalah orang-orang yang dapat dipertanggung jawabkan.


















UCAPAN TERIMAKASIH

Penyusun menyampaikan terimakasih yang tak terhingga kepada:
  1. Kepala departemen Forensik dan Medikolegal
  2. Kepala divisi departemen Forensik dan Medikolegal
  3. dr. Bendrong Moediarso, Sp.F, SH.  – Staf pengajar, selaku pembimbing referat kami.















skip to main skip to sidebar











DAFTAR PUSTAKA

F. Mallo, Johanes, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik. Bab VI Autopsi Klinik.
Solichin, Sudjari; Apuranto, Hariadi; M. Algozi, Agus, Ilmu Kedokteran Forensik dan                  Medikolegal. Bab Otopsi dan Teknik  Otopsi hal; 206-207, Surabaya 2010
Undang-undang No 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-undang No 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan.
Peraturan Pemerintah No 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat       anatomis serta transplatasi dan atau          jaringan tubuh manusia.

















LAMPIRAN

 Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
 Pasal 70
(1)    Dalam melaksanakannya penalitian dan pengembangan dapat dilakukan bedah mayat untuk penyelidikan sebab penyakit dan atau sebab kematian serta pendidikan tenaga kesehatan.
(2)    Badah mayat dapat dilakukan oleh tenaga yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat.
(3)    Ketentuan mengenai bedah mayat sebagaimana dalam ayat (1) dan ayat (2)ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 

Peraturan Pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau jaringan tubuh manusia.

Bab I ketentuan umum
Pasal 1
(a)   Bedah mayat klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian hasil usaha pemulihan kesehatan.

Bab II bedah mayat klinis
Pasal 2
(a)     Dengan persetujuan tertulis penderita dan atau keluarganya yang terdekat setelah penderita meninggal dunia apabila sebab kematiannya belum dapat ditentukan dengan pasti;
(b)      Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang lain atau masyarakat sekitarnya;
(c)     Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat , apabila dalam jangka waktu 2x24 (dua kali dua puluh empat )jam tidak ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ker rumah sakit.
Pasal 3:
(1)   Bedah mayat klinis hanya dilakukan di ruangan dalam rumah sakit yang disediakan untuk keperluan itu.
Pasal 4:
(1)    Perawatan mayat sebelum,selama,dan sesudah bedah mayat klinis dilaksanakan sesuai dengan masing-masing agama dan kepercayaan kepada tuhan yang maha esa ,dan diatur oleh menteri kesehatan.





Bab IX ketentuan pidana 
Pasal 20                                                   
(1)      Pelanggaran atas ketentuan dalam babII,bab III,bab V,bab VI,bab VII,dan bab VIII,diancam dengan pidana kurungan selama-selamanya 3(tiga)bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.7.500.-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2)       Disamping ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat(1)dapat pula diambil tindakan administratif.


Peratuaran otopsi klinis untuk ABRI menurut keputusan menteri pertahanan keamanan/panglima angkatan bersenjata nomor:kep/B/20/V/1972.bab II bedah mayat klinis:
Pasal 2
“Bedah mayat klinis dilakukan dalam keadaan – keadaan sebagai berikut:
(1)      Apabila anggota ABRI meninggal di rumah sakit dalam waktu 48(empat puluh delapan)jam setelah saat masuknya di rumah sakit tersebut(addminision).
(2)      Apabila anggota ABRI meninggal di rumah sakit dan diagnosanya tidak diketahui dengan tepat ,dan / atau penyakitnya berdasarkan penetapan dokter/dokter-dokter yang merawatnya mengandung bahaya bagi orang lain.
(3)      Apabila anggota ABRI meninggal selama mengikuti suatu latihan kemiliteran atau dalam waktu 48(empat puluh delapan)jam sesaat saat latihan dihentikan ,dan diduga atau patut diduga bahwa kematian ada hubungannya dengan latihan tersebut.
(4)      Apabila anggota ABRI meninggal sebagai akibat suatu kecelakaan,yang sebab-sebabnya diduga atau patut diduga ditimbulkan oleh keadaan kesehatan anggota ABRI yang meninggal tersebut.
(5)      Apabila anggota ABRI meninggal karena sebab-sebab yang diduga atau patut diduga merupakan akibat kedinasan,diluar yang dimaksud oleh ayat (3) dan (4) pasal ini.
Pasal 3
(1)   Untuk dapat dilakukan bedah mayat klinis pada keadaan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (1),(2) dan (5),diperlukan persetujuan tertulis anggota ABRI yang bersangkutan sebelum  meninggal atau keluarganya yang terdekat.
(2)   Untuk dapat dilakukan bedah mayat klinis pada keadaan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) dan (4) ,tidak diperlukan persetujuan tersebut dalam dalam ayat (1) pasal ini.
(3)   Bagi anggota ABRI yang meninggal dan keluarganya tidak dikenal atau tidak mempunyai keluarga sama sekali  dan yang biaya pemakamannya ditanggung sepenuhnya oleh ABRI,tidak diperlukan persetujuan tersebut dalam ayat (1) pasal ini.
Pasal 4
Perlunya dilakukan bedah mayat klinis pada seorang anggota ABRI,dikukuhkan oleh:
(1)    Suatu panitia/team dokter yang terdiri dari pada 3(tiga) orang atau lebih dalam jumlah yang ganjil dan yang bersama-sama menanda tangani surat pernyataan perlunya bedah mayat klinis tersebut.
(2)    Untuk lingkungan dalam suatu rumah sakit ,panitia /team dokter yang bersifat tetap ini,diangkat oleh komandan/kepala rumah sakit tersebut dengan suatu keputusan.
(3)    Apabila suatu tempat /daerah ABRI tidak memiliki cukup dokter untuk memenuhi kebuthan dalam sub.1 pasal ini,dan atau juga tidak memiliki tenaga ahli seperti yang dimaksud dalam pasal 5 sub 2,diperbolehkan mempergunakan tenaga-tenaga kesehatan diluar ABRI sesuai dengan prosedure dan ketentuan-ketentuan yang berlaku.





1 komentar: